Kecam Represifitas Aparat, Jaminan Kebebasan Berekspresi Harus Dijaga
Opini oleh Sahril Anwar | Penggerak Gusdurian Serang Raya
Demokrasi sejatinya dibangun atas prinsip kebebasan berpendapat, partisipasi rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, idealitas tersebut kerap berhadapan dengan praktik represif aparat dalam merespons dinamika sosial dan politik di negeri ini.
Tindakan represif—baik berupa kekerasan fisik, intimidasi, maupun pembatasan ruang ekspresi—menciptakan iklim buruk yang justru berlawanan dengan semangat demokrasi Indonesia. Padahal, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sudah secara jelas menjamin hak rakyat untuk bersuara.
Alih-alih berperan sebagai pengayom dan pelindung, aparat yang bersikap represif justru mempersempit ruang kritik dan menghalangi aspirasi masyarakat. Hal ini jelas bertentangan dengan Perkapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa. Fenomena ini kembali terlihat dalam penanganan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, buruh, maupun kelompok masyarakat sipil yang menuntut keadilan.
Puncaknya, pada Kamis, 28 Agustus 2025, ribuan massa dari pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat sipil tumpah ruah di depan Gedung DPR RI Jakarta. Demonstrasi yang dilatarbelakangi kebijakan pemerintah menaikkan tunjangan DPR di tengah kebijakan efisiensi anggaran (Inpres Nomor 1 Tahun 2025) berakhir dengan bentrokan di Senayan. Menurut catatan Lokataru Foundation, sedikitnya 600 orang ditangkap oleh Polda Metro Jaya, ratusan mengalami luka-luka, dan satu orang meninggal dunia.
Peristiwa ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, melainkan juga sinyal jelas bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran serius. Ketika suara rakyat dibungkam dengan kekerasan, demokrasi kehilangan ruhnya. Kedaulatan yang seharusnya berada di tangan rakyat dipaksa tunduk pada kekuasaan bersenjata.
Jika pola represif semacam ini terus dibiarkan, Indonesia hanya akan melahirkan demokrasi prosedural—sekadar pemilu lima tahunan tanpa kebebasan substantif. Demokrasi yang sehat mensyaratkan aparat yang profesional, transparan, serta menjunjung tinggi hak warga negara. Karena itu, kontrol publik, supremasi hukum, dan reformasi institusional mutlak diperlukan agar aparat tidak berubah menjadi alat kekuasaan yang menindas rakyatnya.
Kita harus kembali pada prinsip dasar: kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Negara dan aparat hanyalah instrumen rakyat untuk mengelola negara, bukan untuk menindasnya. Tindakan represif aparat adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita demokrasi. Maka, saya menegaskan: korban harus mendapat keadilan, pelaku harus diadili sesuai hukum, dan kebebasan berekspresi harus dijamin tanpa syarat.