Aktual

Elon Musk & Perannya di Gempuran Timur Tengah

SAREKAT , AKTUAL – Ketika dunia lagi-lagi dikepung konflik di Timur Tengah—drone beterbangan, rudal berdentuman, dan perjanjian damai sekadar headline sementara—muncullah nama yang tidak pernah absen dari trending topic Elon Musk.

Bukan karena dia nyerbu Gaza, atau diam-diam jual senjata ke pihak manapun. Tapi karena ia bisa masuk ke mana saja, kapan saja, dan dianggap bisa menyelesaikan apa saja. Dari mobil listrik, roket luar angkasa, sampai satelit internet bernama Starlink, Musk seperti superhero kapitalis yang entah kenapa selalu nongol ketika dunia chaos.

Saat listrik dan jaringan di Gaza padam, banyak mata langsung melirik ke satu arah Elon dan Starlink-nya. Dalam satu cuitan di X, ia bilang siap menyediakan akses internet darurat untuk NGO di Gaza. Tapi Kementerian Komunikasi Iran mengatakan pemblokiran internet akan dicabut saat kondisi kembali normal. Akan tetapi, Elon justru mengaktifkan Starlink di negara ini, kutipan ini dari The Economic Times.

“Sinyalnya menyala,” cuitan nya melalui X, Jumat, 14/6/2025.

Dunia terbelah dua yang kagum dan yang menganggap ini cuma pencitraan ala Silicon Valley. Tapi, di antara puing-puing dan asap, koneksi internet kadang memang lebih menyelamatkan daripada orasi para pemimpin dunia.

Musk: Penyelamat atau Penjual Signal?
Di satu sisi, Elon hadir membawa solusi. Tapi di sisi lain, ia juga membawa narasi: bahwa penyelamat dunia bukan lagi lembaga internasional, bukan PBB, bukan negara adidaya, tapi satu orang dengan saham mayoritas dan koneksi Wi-Fi satelit. Ironis, bukan? Perang diredam bukan lewat diplomasi, tapi lewat bandwidth.

Peran Elon bukan seperti diplomat, apalagi aktivis perdamaian. Ia lebih mirip teknokrat swasta yang tahu momen—datang pas krisis, bawa gadget, dan keluar dengan engagement media sosial. Ia tak berdiri di sisi manapun, selain sisi yang menguntungkan reputasinya (dan valuasi perusahaannya).

Timur Tengah Butuh Damai, Bukan CEO

Tentu kita tak bisa menutup mata bahwa bantuan infrastruktur seperti Starlink bisa sangat berarti. Tapi apakah itu cukup untuk menghentikan bom dan dendam? Jelas tidak. Perang bukan soal sinyal, tapi soal sejarah, kuasa, dan luka kolektif. Dan sampai hari ini, belum ada algoritma yang bisa mengobati trauma kolektif satu bangsa.

Tapi inilah dunia kita hari ini. Ketika diplomasi gagal, dunia berharap pada miliarder eksentrik. Ketika PBB hanya rapat, kita menyegarkan linimasa menunggu Elon berkicau. Dan ketika dunia terbakar, yang datang bukan Superman, tapi pemilik Tesla.

Jadi, apa peran Elon Musk di tengah gempuran Timur Tengah yang memanas?

Ia adalah cermin. Cermin dari dunia yang lebih percaya pada inovasi individu daripada kerja kolektif. Cermin dari zaman di mana koneksi internet dianggap lebih penting dari penyelesaian akar masalah. Dan, barangkali, cermin dari dunia yang pelan-pelan kehilangan harapan pada institusi.

Admin Sarekat

Menghidupkan Suara Yang Tersekat di antara suara lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *