Cuma Gen Z yang Menormalisasikan Lulusan S1 Gk Harus Banyak Tuntutan, Gen Millenial Mana Ada
SAREKAT – OTOSIRKEL, Di era yang tidak pasti ini, satu hal mencolok dalam dunia kerja adalah pergeseran pola pikir antara generasi Milenial dan Gen Z terhadap ekspektasi setelah lulus kuliah. Jika generasi Milenial dulu penuh ambisi dan tuntutan gaji tinggi, pekerjaan tetap, kantor nyaman, bahkan jabatan strategis di usia muda generasi Z datang dengan realistis, fleksibel, dan cenderung “slow living”.
Gen Z Lebih Fleksibel dan Adaptif
Survei dari Deloitte Global 2024 mengungkap bahwa 62% Gen Z menyatakan mereka lebih mementingkan work-life balance dibanding pendapatan tinggi. Sementara hanya 42% Milenial yang menyatakan hal serupa. Ini memperlihatkan perbedaan mendasar dalam cara pandang terhadap dunia kerja. Gen Z, yang tumbuh dalam dunia digital, menyadari bahwa kehidupan tak melulu soal pekerjaan. Mereka sadar, kesehatan mental, waktu luang, dan aktualisasi diri jauh lebih berharga dari sekadar gelar dan jabatan.
Selain itu, hasil studi LinkedIn 2023 mencatat bahwa Gen Z lebih terbuka pada pekerjaan freelance, remote, bahkan part-time. Lulusan S1 dari generasi ini tidak merasa “gagal” hanya karena belum kerja kantoran. Buat mereka, kerja di kafe, bikin konten, atau freelance desain grafis bukan sesuatu yang hina tapi justru bentuk kemandirian.
Milenial Tumbuh dalam Budaya Tuntutan
Berbeda dengan Milenial. Generasi ini tumbuh saat internet mulai berkembang, namun masih dibesarkan dengan nilai-nilai klasik seperti “Sekolah tinggi biar kerja bagus”, “Jadi PNS itu aman”, dan “Kerja harus di kantor”. Mereka juga menjadi saksi krisis finansial 2008, yang menanamkan trauma ekonomi sehingga standar keamanan dan kestabilan lebih penting dibanding fleksibilitas.
Banyak Milenial merasa bahwa jika seseorang sudah lulus S1, maka ia harus mendapat pekerjaan tetap, gaji UMR ke atas, dan kalau bisa langsung kerja sesuai jurusan. Maka tak heran, tuntutan terhadap diri sendiri maupun orang lain lebih tinggi.
Realita Ekonomi Mendorong Perubahan Sikap
Gen Z juga sadar bahwa realita tak seindah brosur kampus. Data dari BPS 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih di atas 5,8%. Artinya, kuliah belum tentu menjamin pekerjaan. Harga rumah mahal, lapangan kerja makin sempit, dan sistem kapitalisme digital semakin menantang. Gen Z menyesuaikan diri gk semua harus ideal, yang penting bisa hidup dulu.
Sikap ini membuat Gen Z lebih menormalisasi berbagai pilihan hidup pasca-lulus. Bukan hanya jadi karyawan, tapi juga membuka usaha kecil, jadi content creator, jualan online, atau ambil jeda alias gap year untuk mencari jati diri. Sebuah hal yang dianggap “nganggur gak jelas” oleh sebagian Milenial.
Ini Bukan Soal Sikap Malas
Gen Z bukan tidak punya ambisi. Mereka hanya punya ambisi yang beda. Generasi ini ingin hidup seimbang. Mereka sadar, bekerja keras penting, tapi menjaga kewarasan lebih penting. Mereka juga lebih terbuka pada berbagai jalan karier, dan lebih fleksibel dalam mendefinisikan sukses.
Mungkin Gen Z tidak menggebu-gebu soal gaji besar di usia 23, tapi mereka tahu bagaimana menghindari burnout di usia 30.
Pola yang Tak Lagi Sama
Perbedaan pola pikir antara Milenial dan Gen Z bukan soal siapa yang lebih benar, tapi soal konteks zaman. Dunia kerja hari ini tidak lagi linear, dan Gen Z menjawab tantangan itu dengan cara mereka sendiri. Menormalisasi bahwa lulusan S1 tak harus punya hidup ideal sejak awal bukan bentuk kemalasan, melainkan adaptasi.
Bagi generasi ini, hidup bukan sekedar kompetisi siapa yang paling cepat sukses melainkan siapa yang paling bisa bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri.