Yang di Cari Bukan Job Fair, Tapi Fair Dalam Dapetin Job
SAREKAT – TERMINAL Setiap kali angka pengangguran naik, pemerintah seolah punya satu mantra sakti yang selalu jadi andalan: bikin job fair. Entah sudah berapa kali rakyat kecil dikumpulkan di balai kota, GOR, atau kadang di mall, buat ngantri masuk ke arena penuh booth perusahaan dengan spanduk semangat: We’re Hiring! Join Us Now!
Dari luar kelihatan megah. Orang lalu-lalang bawa map, berdasi, pakai blazer pinjeman. Sekilas, kelihatan kayak negeri ini lagi penuh harapan. Tapi coba tanya mereka setelah pulang; “Dapet kerja, Bro?”
Jawabannya seringkali sama; “Belum, tapi dapet stiker, bolpen, sama tote bag keren.”
Alhamdulillah, pengangguran tapi swag.
Padahal kalau dipikir-pikir, job fair di negeri ini kadang lebih mirip festival daripada solusi. Ada panggung hiburan, ada snack gratis, bahkan kadang ada photobooth. Yang kurang cuma wahana bianglala dan komidi putar. Tapi sayangnya, yang berputar-putar justru nasib para pencari kerja.
Job fair itu bagus, asal…
Biar nggak disangka nyinyir doang, mari kita akui dulu; job fair itu niatnya baik. Setidaknya mempertemukan pencari kerja dan perusahaan dalam satu tempat. Kayak Tinder, tapi buat lowongan kerja. Swipe kanan kalau cocok, tinggal kasih CV.
Tapi masalahnya bukan di niat. Masalahnya di praktik.
Banyak job fair yang berakhir cuma jadi formalitas. Syarat administrasi buat laporan ke pusat. “Sudah, Pak, kami sudah bantu masyarakat. Sudah adakan job fair, kok. Lihat tuh fotonya, rame!”
Tapi rame belum tentu bermanfaat.
Kalau ending-nya tetap yang diterima adalah “anak teman bos”, “keponakan pejabat”, atau “yang sudah duluan masuk lewat jalur belakang”, ya rakyat tetap cuma jadi penonton di teater ketenagakerjaan ini.
Meritokrasi itu makanan apa?
Kita ini hidup di negeri di mana kata “kompetensi” seringkali kalah telak sama “koneksi”. Bahkan kadang, kemampuan adaptasi kerja kalah saing sama kemampuan bikin kopi buat atasan.
Yang bikin miris, banyak anak muda yang udah berusaha keras: kuliah 4 tahun, ikut pelatihan, magang, sampai sertifikasi sana-sini, tapi kalah sama satu kalimat sakti: “Ada kenalan di dalam, kok.”
Jadi jangan heran kalau semangat kerja banyak yang mulai melempem.
Bukan karena malas, tapi karena capek main di sistem yang sejak awal udah timpang.
Rakyat itu bukan pemalas, cuma males ditipu harapan palsu
Banyak pejabat suka bilang: “Generasi muda sekarang manja, maunya kerja enak, gaji tinggi.”
Padahal bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, mereka mau kerja, tapi nggak dikasih kesempatan yang adil.
Kalau kerja bagus cuma bisa didapetin lewat jalur ‘orang dalam’, lalu buat apa ada job fair?
Buat apa disuruh bikin CV, kalau akhirnya nggak dibaca?
Buat apa disuruh ikut tes, kalau yang lolos sudah ditentukan?
Ini bukan sinetron. Ini hidup nyata. Dan rakyat butuh lebih dari sekadar panggung pura-pura.
Jadi, tolonglah. Jangan sekadar bikin job fair, tapi benahi sistemnya.
Pastikan proses rekrutmen itu terbuka, transparan, dan berbasis kemampuan.
Jangan kasih harapan palsu lewat karpet merah job fair, kalau di ujungnya cuma yang punya privilege yang diterima.
Karena rakyat bukan cari banyaknya booth, tapi banyaknya kesempatan yang nyata.
Bukan cari panggung untuk berfoto, tapi panggilan kerja yang beneran datang.
Yang dicari rakyat bukan job fair, tapi fair dalam dapetin job.
Dan itu, Pak, Bu, cuma bisa diwujudkan kalau sistemnya berani dibongkar.
Kalau keadilan kerja dijadikan prioritas, bukan cuma pencitraan.
Rakyat nggak butuh tepuk tangan. Mereka cuma pengin kerja dengan layak dan didapetin dengan cara yang jujur.