Yang Bikin Beban Itu Bukan Hidup, Tapi Komentar Para Tetangga yang Julid
SAREKAT – OTOSIRKEL, Dulu saat masih duduk di bangku kuliah, harapan paling besar adalah cepat lulus. Karena kalau belum lulus kuliah itu rasanya nyesek liat teman seangkatan, adik kelas sudah bisa banggain keluarga nya karena sudah lulus kuliah, terus biar bisa segera meninggalkan tugas-tugas yang tak ada habisnya, skripsi yang bikin stres, dan tekanan dari orang rumah yang setiap minggu nanya “Kapan wisuda?”
Setelah lulus pengen nya hidup bisa lebih tenang dulu, ternyata kita harus menghadapi pertanyaan yang tiada hentinya dari tetangga dan orang lain, hidup gak jadi lebih tenang. Muncul pertanyaan dari keluarga, orang dekat, tetangga yang nanya kapan kerja.
Padahal pertanyaan kaya begitu malah membuat sesak, yang baru setelah selesai di tanya kapan lulus kuliah. Ternyata memang tak segampang itu setelah lulus agar bisa langsung dapat kerja, ditambah keadaan hari ini sudah tidak baik-baik saja karena PHK merajalela.
Timbulnya keinginan karena pengen punya penghasilan sendiri, bisa beli barang-barang tanpa minta orang tua, dan bisa bangga bilang, “saya udah kerja” jadi impian semua orang, terutama fresh graduate.
Namun apalah daya kita harus berjuang lagi setelah sekian lama berjuang untuk lulus dari perkuliahan.
Lalu, ketika kerja sudah didapat, pertanyaan selanjutnya datang tanpa jeda yaitu kapan nikah, ko sudah kerja belum nikah aja ucap mulut orang yang gk punya dosa. Karena katanya, hidup bakal lengkap kalau sudah ada pasangan hidup.
Kalau sudah nikah pun bakal muncul lagi pertanyaan baru kapan punya rumah, kapan punya anak, kapan, kapan, dan kapan adalah pertanyaan manusia modern saat ini yang tiada hentinya membuat sesak dada dan napas. Membuat sang istri atau keluarga sendiri pun jadi sudzon sama kita yang kadang menurut mereka kita ini gk punya masa depan, padahal masih dalam tahap proses. Tak heran banyak terjadi kedengkian bahkan sampai terjadi pembunuhan karena pertanyaan seperti itu.
Pentingnya menjaga perasaan orang lain
Dari kecil kita diajarkan untuk mempunyai sopan santun dan etika. Di kehidupan modern yang penuh dengan hiruk-pikuk ini tak semua orang bisa bertahan, maka dari itu penting nya kita bisa menjaga perasaan orang lain yang sedang berproses dari hidup.
Tak gampang untuk menjaz seseorang itu buruk dan tidak punya masa depan. Lagi pula untuk apa sih kita punya sifat fanatik dengan hal-hal yang gampang berubah? Karma selalu berlaku sampai sekarang, dan datangnya pun tak kenal waktu, maka ada peribahasa “Mulut mu, harimau mu.”
Hidup Bukan Sekedar Mencapai Target
Apakah hidup hanya soal mencapai target demi target? Apakah setiap pencapaian cuma akan digantikan oleh keinginan lain yang lebih tinggi, lebih berat, lebih melelahkan?
Mungkin inilah paradoks manusia selalu mempertanyakan sesuatu yang belum ada, dan lupa menikmati apa yang sudah ada. Padahal, bisa jadi yang kita cari bukan lagi hal baru, tapi rasa cukup.
Mungkin setelah semuanya tercapai, yang benar-benar kita cari adalah tenang. Rasa damai. Rasa syukur. Rasa yang tidak bisa dibeli oleh gaji tinggi, cincin nikah, atau rumah mewah.
Dan di sanalah letak tantangan terbesar manusia hari ini belajar berhenti sejenak, bukan untuk menyerah, tapi untuk mengapresiasi. Untuk bersyukur. Untuk sadar bahwa hidup bukan hanya tentang berlari, tapi juga tentang berhenti dan menikmati pemandangan.