SEBUAH PERCAKAPAN IMAJINATIF
Pada suatu pagi, seorang penyair muda
bertanya padanya,
“Seperti apa puisi yang bagus itu?”
Jokpin memandangnya sambil tersenyum
Puisi penyair muda itu masih lunak
Pilihan katanya halus, mulus dan indah
Dengan kepolosan yang gemuk dan tebal
Puisi yang belum terluka oleh jeritan kebutuhan hidup
Terbanting oleh nasib yang buruk
“Aku hidup di zaman Sapardi sudah mati,” lanjut penyair muda itu
Jokpin tersenyum, kali ini dengan sedikit geli
Ia menjawab dengan sedikit menegakkan kepala,
“Apakah kau kehilangan inspirasi?
Puisi adalah resto mahal, bisa juga cepat saji
Setiap tempat punya menu sendiri-sendiri
Mulailah dari yang cepat saji
Murah dan mengenyangkan
Kecap rasanya yang terdalam—
sampai ke sumsum tulang dalam
Kemudian bertandanglah ke segala resto
Menu di sana lebih banyak
Bumbu-bumbunya lebih pepak dan komplit
Perihal rasanya?
Belum tentu yang cepat saji kalah dibanding resto
Itulah puisi.”
2/ MAESTRO KATA
Di kota tua, ada seorang penyair tua
puisinya jenaka, muslihat tersembunyi
teka-teki sulit, penuh tanya.
Kekatanya percakapan sehari-hari
tersusun rapi, tiupan melodika
ia fasih dengan bunyi dan irama
cara unik yang tak terduga.
3/ ELEGI KEPERGIANNYA
Sebagai sekutu puisi
ia pencari kata terbaik
tapi, sampai kapan?
Yang ditunggu telah datang
membuatnya tenang
Ia pun memutuskan
beberapa hal penting
tak perlu dipuisikan lagi
sejak hari ini
Meski luka-luka ini berkumandang dari mata dan menelusup di kedalaman dada, tapi dari ketiadaanmulah, segala bahagia seakan punah.
Tapi, duka bukanlah rumah akhir kita, walau pernah sekali dua kali, kita merasa pulang padanya.
Kita akan terus menafsir duka menjadi puisi, menerbangkan doa-doa terus melangit, dan percaya; cinta akan kembali sebagai ihwal dari bahagia.