Terminal

Profesi Mulia yang Dibiarkan Tetap Miskin

SAREKAT – TERMINAL, Ada orang yang sudah lebih dari dua tahun mengajar di sekolah, tetapi kesejahteraannya tetap jauh dari layak. Banyak pihak justru rajin membangun argumen untuk mencegah profesi guru menjadi sejahtera, seakan-akan tugas guru memang ditakdirkan untuk tetap miskin hingga akhir hayat.

Alasan yang sering dipakai sederhana: guru itu profesi mulia, ladang amal, jadi jangan pernah berharap uang sebagai tujuan utama. Sekilas, argumen itu terdengar indah, megah, bahkan penuh makna. Tetapi, jika ditelisik lebih dalam, narasi semacam ini hanyalah branding palsu yang justru mempertahankan kemiskinan guru, tanpa ada upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Buktinya, gaji guru honorer sering kali hanya ratusan ribu rupiah per bulan. Sementara, kepala sekolah bisa berganti mobil setiap tahun. Padahal dana BOS turun rutin setiap triwulan, sebagian besar memang untuk pembangunan sekolah dan membayar gaji guru. Ketimpangan seperti ini jelas bukan rahasia.

Setiap kali isu kesejahteraan guru diangkat, selalu saja ada cara untuk menepis. Ironisnya, penolakan itu kerap datang dari pejabat negara yang bergaji sangat tinggi, tapi seolah kehilangan empati. Duduk sejam saja bersama guru, siapa pun pasti tahu kompetensi mereka sering kali terjebak dalam sistem yang rusak. Seperti pepatah: ikan busuk dari kepala. Itulah gambaran terbaik mengapa pendidikan kita terus menurun kualitasnya.

Alih-alih memperbaiki kualitas guru, pemerintah justru sibuk meluncurkan kurikulum baru yang tak pernah menyentuh hal esensial. Inovasi seabrek, jargon segunung, tapi tidak ada yang benar-benar membahas persoalan inti: kesejahteraan guru. Logikanya tidak pernah masuk akal.

Generasi baru lulusan S1 pendidikan banyak yang sebenarnya punya kualitas, tapi enggan jadi guru. Wajar saja, siapa yang mau dibayar Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per bulan? Lalu, mereka masih diwajibkan bersyukur karena dianggap “sudah besar”. Logika macam apa ini?

Lebih menyakitkan lagi, pemerintah justru terlihat enggan memberi dukungan terbuka. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan rendahnya gaji guru dan dosen adalah tantangan keuangan negara, bahkan sempat bertanya: apakah semua harus ditanggung negara, atau masyarakat juga berpartisipasi? Beberapa hari kemudian, Menteri Agama menimpali bahwa guru adalah profesi mulia, jadi tak perlu mengejar uang.

Pertanyaan sederhana: apa guru bisa membeli beras, membayar transportasi, atau memenuhi kebutuhan hidup dengan kata-kata indah itu? Jelas tidak.

Dua pernyataan pejabat itu hanyalah contoh kecil dari banyaknya sikap buruk terhadap isu kesejahteraan guru. Anehnya, ketika bicara soal tunjangan pejabat, komentar mereka tak pernah sekeras ketika membicarakan gaji guru atau dosen.

Admin Sarekat

Menghidupkan Suara Yang Tersekat di antara suara lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *