Privilage Organisasi Berlaku Ketika Jadi Kader, Pasca Kader Urusan Bisnis Masing-masing
SAREKAT – OTOSIRKEL, Di dalam lingkaran organisasi, khususnya organisasi mahasiswa ketika masih berpengurus atau menjadi kader kita akan mendapatkan sebuah privilege yang tidak di dapatkan oleh semua orang yang tidak ikut di wadah organisasi tersebut dan itu adalah sebuah kemewahan. Karena tidak semua orang beruntung mendapatkan kesempatan untuk berada di posisi strategis, memegang peran penting, atau menikmati akses yang tidak dimiliki anggota biasa. Proses kaderisasi yang panjang, dedikasi, dan loyalitas yang ditunjukkan menjadi faktor penentu seseorang mendapatkan kepercayaan itu.
Namun, persoalan sering muncul ketika privilege ini dianggap sebagai modal mutlak untuk bertahan di dunia nyata, terutama ketika sudah meninggalkan organisasi dan masuk ke ranah bisnis. Banyak yang keliru memaknai privilege organisasi sebagai tiket instan menuju kesuksesan. Padahal, realitas berkata lain aturan main organisasi jauh berbeda dengan aturan main bisnis. Hal ini masih disalahkaprahkan oleh sebagian orang yang pasca kader, bahwa bisnis adalah suatu hal yang jauh berbeda dari mantan kader.
Privilege itu Amanah, Bukan Warisan
Ketika masih dipercaya memegang posisi penting di organisasi, privilege hadir sebagai amanah, namun ini bukan hak istimewa yang bisa dipakai selamanya. Setelah masa jabatan berakhir, privilege itu pun selesai, syukur-syukur kita masih punya peran penting ke senior dan senior itu masih mau merangkul kita ,kalau tidak yasudah tamat, kita harus membangun dari awal lagi, disini lah sebenarnya letak independent kita di uji. Di dunia profesional tidak peduli apakah kita ini mantan ketua umum, pengurus inti, atau kader legendaris. Yang dihitung itu hanyalah kemampuan aktual Anda di medan yang baru, bukan hanya gelar mantan kader doang.
Dunia Bisnis Butuh Kompetensi, Bukan Gelar Kader
Dalam dunia bisnis, nama besar organisasi tidak lagi cukup. Pasar tidak tertarik pada riwayat kepengurusan kita, tapi pada produk, layanan, dan nilai yang kita tawarkan. Bisnis bergerak dengan logika kompetensi, bukan nostalgia kaderisasi. Jika tidak membekali diri dengan ilmu manajemen, strategi pemasaran, dan etika profesional, jangan berharap jaringan organisasi bisa menyelamatkan usaha kita.
Jaringan Itu Modal, Bukan Mesin Uang
Organisasi memang memberikan modal sosial yang berharga yaitu, relasi. Namun, relasi ini bukan mesin uang otomatis. Banyak orang yang terlalu mengandalkan hubungan pertemanan atau “ikatan kader” untuk memperoleh keuntungan bisnis, tanpa memberi nilai tambah. Akibatnya, hubungan yang semula hangat bisa retak karena dianggap oportunis. Jaringan akan bekerja efektif jika dibangun atas dasar profesionalisme, bukan sekadar solidaritas masa lalu.
Mental Gratisan Harus Ditinggalkan
Salah satu jebakan yang paling berbahaya adalah pasca kader yaitu mental gratisan. Ada anggapan bahwa karena dulu pernah berjuang bersama, sekarang segala sesuatu harus diberikan tanpa harga. Hal ini berakibat fatal. Bisnis punya logika tersendiri, gk bisa kita hanya mengandalkan pertemanan saja, logikanya begini saja saja bisnis bareng sodara sendiri saja bisa di khianati, apa lagi ini yang cuma bermodalkan teman di organisasi. Masalahnya bisnis itu siku sana sini, tak lihat teman atau sodara, semua nya dilibas demi profit, keberlanjutan, dan nilai tukar yang adil. Jika prinsip ini diabaikan, maka bukan hanya usaha yang gagal, tapi juga reputasi yang hancur.
Privilage di Organisasi Hanya Modal Awal, Jangan Terjebak
Privilege di organisasi memang berharga, tapi jangan sampai membuat kita terjebak pada ilusi. Itu hanyalah modal awal, bukan jaminan masa depan. Dunia bisnis membutuhkan integritas, profesionalisme, dan kemampuan menciptakan nilai. Organisasi membentuk karakter dan mentalitas, tapi kesuksesan pasca kaderisasi ditentukan oleh kompetensi, bukan nostalgia.