“Ketimpangan Gender dan Pelecehan Seksual: Sebuah Rantai yang Harus Diputus”
Ketimpangan gender dan pelecehan seksual adalah dua fenomena yang saling terkait erat, membentuk rantai yang memperkuat ketidakadilan di berbagai aspek kehidupan. Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat telah menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, menciptakan kondisi di mana pelecehan seksual dianggap hal yang lumrah atau bahkan disalahkan pada korban. Menurut laporan UN Women (2021), sebanyak 35% perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan seksual atau fisik dalam hidup mereka, dengan angka yang lebih tinggi di negara-negara dengan kesenjangan gender yang besar.
Ketimpangan gender membentuk hierarki kekuasaan yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun hukum. Dalam budaya patriarki, perempuan sering dianggap sebagai objek seksual yang keberadaannya ditentukan oleh pandangan laki-laki. Simone de Beauvoir dalam bukunya *The Second Sex* (1949) menulis bahwa perempuan sering kali diperlakukan sebagai “liyan” atau “the other”, bukan sebagai individu yang memiliki hak yang sama. Perspektif ini kemudian melanggengkan pelecehan seksual sebagai sesuatu yang “dapat dimaklumi” dalam norma sosial.
Di Indonesia, ketimpangan gender masih tampak nyata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kerja. Menurut survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan (2022), sekitar 70% perempuan pekerja pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, baik dalam bentuk komentar tidak senonoh, sentuhan tidak diinginkan, maupun ajakan seksual secara paksa. Kasus-kasus ini sering kali tidak dilaporkan karena adanya ketakutan terhadap stigma sosial atau ancaman dari pelaku yang memiliki kekuasaan lebih besar.
Salah satu hambatan terbesar dalam memerangi pelecehan seksual adalah budaya *victim blaming* atau menyalahkan korban. Alih-alih mendapat perlindungan dan dukungan, korban justru sering kali disalahkan atas kejadian yang mereka alami. Sebuah penelitian oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2023) menunjukkan bahwa 60% masyarakat Indonesia masih memiliki pandangan bahwa “pakaian terbuka” perempuan menjadi penyebab utama pelecehan seksual. Padahal, studi dari WHO (2022) menunjukkan bahwa pelecehan seksual terjadi di berbagai kondisi, termasuk kepada perempuan yang berpakaian tertutup dan anak-anak.
Selain itu, impunitas bagi pelaku juga menjadi masalah serius. Studi yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta (2023) menunjukkan bahwa hanya 30% kasus pelecehan seksual yang dilaporkan berhasil diproses hingga ke pengadilan. Banyak kasus yang justru berhenti di tahap mediasi atau penyelesaian damai yang sering kali merugikan korban. Dalam kasus yang masuk ke pengadilan, hukuman bagi pelaku sering kali lebih ringan dari ancaman hukuman maksimal. Misalnya, dalam sebuah kasus di Pengadilan Negeri Klaten pada 2022, pelaku pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi hanya dijatuhi hukuman 6 bulan penjara, jauh lebih ringan dari ancaman hukuman maksimal 12 tahun yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Untuk mengakhiri siklus pelecehan seksual yang diperparah oleh ketimpangan gender, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Salah satunya adalah reformasi hukum yang lebih berpihak pada korban. Pengesahan Undang-Undang TPKS pada tahun 2022 merupakan langkah maju dalam perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam sosialisasi dan kesiapan aparat penegak hukum.
Selain itu, pendidikan kesetaraan gender harus diperkenalkan sejak dini. Sebuah studi dari UNESCO (2023) menunjukkan bahwa negara-negara dengan kurikulum yang menekankan kesetaraan gender mengalami penurunan signifikan dalam kasus pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender. Di Indonesia, upaya untuk memasukkan pendidikan seksual dan gender ke dalam kurikulum masih mendapat banyak penolakan dengan alasan nilai budaya dan agama. Padahal, edukasi yang baik justru dapat membentuk pola pikir yang lebih sehat dalam memahami relasi gender dan mencegah kekerasan seksual.
Peran masyarakat sipil juga sangat penting dalam memerangi pelecehan seksual. Kampanye sosial seperti *#MeToo* di tingkat global dan *#GerakBersama* di Indonesia telah berhasil mendorong lebih banyak korban untuk bersuara dan menuntut keadilan. Kesadaran kolektif ini harus terus diperkuat agar budaya diam dan takut dalam menghadapi pelecehan seksual bisa dihapuskan.
Ketimpangan gender dan pelecehan seksual adalah dua masalah yang tidak bisa dipisahkan. Selama perempuan masih diperlakukan sebagai pihak yang lebih rendah dalam struktur sosial, pelecehan seksual akan terus terjadi dan sulit diberantas. Oleh karena itu, rantai ini harus diputus melalui perubahan hukum, pendidikan, dan kesadaran kolektif masyarakat. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, “One is not born, but rather becomes, a woman”—perempuan tidak dilahirkan sebagai makhluk inferior, tetapi dijadikan demikian oleh konstruksi sosial. Sudah saatnya konstruksi ini diubah agar perempuan dapat hidup dengan martabat dan keamanan yang setara dengan laki-laki. (*/AdeS Suntama)