Liputan

Kenapa Data Kemiskinan BPS dan Bank Dunia Beda? Ini Penjelasannya

SAREKAT – LIPUTAN, Angka kemiskinan di Indonesia kerap menjadi sorotan publik, terlebih ketika data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berbeda dengan data dari Bank Dunia. Perbedaan ini bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan oleh perbedaan metodologi dan tujuan penghitungan yang digunakan masing-masing lembaga.

Perbedaan Garis Kemiskinan

Bank Dunia menggunakan pendekatan garis kemiskinan internasional dengan basis Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2021. Dalam standar ini, garis kemiskinan ekstrem ditetapkan sebesar 3 dolar AS per orang per hari, sementara negara berpendapatan menengah bawah seperti Indonesia menggunakan batas 3,65 hingga 4,2 dolar AS. Untuk kategori menengah atas, garisnya mencapai 8,3 dolar AS.

Di sisi lain, BPS menggunakan standar garis kemiskinan nasional berdasarkan kebutuhan dasar, sesuai dengan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) yang mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). BPS menggunakan PPP 2017 sebagaimana diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

Tujuan Penghitungan yang Berbeda

Tujuan penghitungan juga menjadi pembeda utama. BPS dan sebagian besar negara menggunakan standar nasional untuk merancang kebijakan sosial dan program bantuan yang sesuai dengan kondisi domestik. Sementara itu, Bank Dunia menghitung kemiskinan dengan tujuan perbandingan global antarnegara.

“Kalau World Bank melakukan penghitungan berdasarkan perbandingan global, maka Indonesia melakukan penghitungan berdasarkan standar nasional,” jelas Ateng Hartono, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS.

Angka Kemiskinan: Beda Hasil, Beda Makna

Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2024 mencapai 23,2 juta jiwa atau sekitar 8,03 persen dari total populasi. Namun, berdasarkan perhitungan Bank Dunia, angka tersebut lebih tinggi. Pada 2023, Bank Dunia mencatat sekitar 43 juta orang di Indonesia berada di bawah garis kemiskinan (menggunakan standar 3,65 dolar AS per hari), atau sekitar 15,3 persen dari populasi. Bahkan, sebanyak 2,38 juta jiwa dikategorikan dalam kemiskinan ekstrem.

Perbedaan data ini menunjukkan pentingnya memahami konteks metodologi dalam membaca angka kemiskinan. Satu angka tidak selalu merepresentasikan satu kondisi yang seragam—melainkan cerminan dari pendekatan yang digunakan dan tujuan dari penghitungan itu sendiri.

Admin Sarekat

Menghidupkan Suara Yang Tersekat di antara suara lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *