Idealis Culas: Yang Paling Lantang, Tapi Paling Aman
SAREKAT – TERMINAL, Zaman sekarang tuh aneh. Orang bisa keliatan idealis banget di permukaan, tapi kalau dibedah sedikit aja, dalamnya kosong. Persis kayak kue nastar isi angin. Luarnya penuh janji, dalemnya penuh perhitungan.
Dulu, jadi idealis itu mahal, harus siap dimusuhi, disidang, bahkan diseret aparat. Sekarang? Idealisme malah jadi paket lengkap buat branding. Mau dapat panggung, teriakin oligarki. Mau naik followers, posting quote kritis. Mau dapet proyek, ngomongin keadilan sosial—asal jangan terlalu frontal.
Inilah zaman di mana banyak orang terlihat berpihak, tapi cuma kalau aman. Idealis culas, istilahnya. Jenis manusia yang kalau ngomong, isinya kritik tajam, tapi begitu dapat jabatan, nadanya mendadak lembut kayak iklan sabun mandi.
Aktivis rasa konten
Coba buka media sosial. Banyak banget orang yang keliatan kayak aktivis digital, bahas isu A, bela kelompok B, kritik negara C. Tapi lusa? Post story endorse kopi sachet, sambil kasih diskon pakai kode “KEADILAN15”. Aktivisme dan monetisasi kini akur banget.
Ironisnya, mereka fasih banget manggil orang lain “kompromistis”, tapi giliran temannya sendiri yang blunder, mendadak jadi filsuf: “Kita harus lihat konteksnya.” Lah, waktu orang lain kamu hujat pakai megafon, giliran teman sendiri jadi pelindung kontekstual? Enak bener.
Politisi rasa selebgram
Nggak kalah lucu, banyak politisi muda yang dulunya turun ke jalan, sekarang malah senyum-senyum bareng pejabat lama. Kritiknya dulu kayak api neraka, sekarang lebih kayak api lilin aromaterapi: hangat, lembut, dan nggak ganggu suasana.
Mereka masih bilang “kami berpihak pada rakyat”. Tapi rakyat yang mana? Rakyat yang bisa bikin elektabilitas naik? Rakyat yang suaranya bisa dikapitalisasi?
Yang lucu, mereka kadang pakai kalimat kayak “perjuangan kita belum selesai.” Tapi setiap hari nongol di podcast-podcast fancy, bahas “how to stay relevant in politics” sambil ngopi Rp50 ribuan. Perjuangan belum selesai, tapi kayaknya kenyamanan udah full package.
Dosen kritis di Zoom, pasif di ruang rapat
Ruang akademik pun sama aja. Banyak intelektual kritis, tapi cuma di forum-forum internasional atau jurnal bereputasi. Di kampus sendiri? Diam seribu bahasa. Apalagi kalau yang dikritik itu rektor yang satu arisan.
Mereka masih suka ngomong soal keadilan struktural dan emansipasi, tapi giliran dapat proyek dari kementerian, semua kata jadi lembut dan manis. Kadang malah nyusun naskah kebijakan yang isinya ngelesin pemerintah. Canggih. Idealisme bukan dibuang—cuma disubkontrakkan.
Lalu, kita harus apa?
Kadang kita semua memang terjebak: idealis tapi lapar, punya prinsip tapi juga pengin punya AC di kamar. Tapi satu hal yang mestinya masih bisa kita usahakan: jujur. Minimal jujur kalau kita lagi main aman. Jujur kalau kita pernah culas juga. Jujur kalau kita sekarang lebih sering pilih diam, bukan karena bijak, tapi karena takut kehilangan undangan seminar.
Jadi idealis itu nggak harus sempurna. Tapi tolong, jangan pura-pura masih perjuangan kalau sebenarnya udah nyaman. Jangan maki orang lain “main dua kaki”, kalau kaki kita sendiri udah nyeker di atas karpet kekuasaan.
Di era ini, kadang yang paling keras suaranya, justru yang paling lihai main peran. Dan yang paling diam, kadang justru yang paling utuh menjaga prinsipnya. Mau jadi yang mana, itu urusan kita masing-masing.