Hoaks Ada Karena Orang Lebih Suka yang Hiperbola daripada yang Mikir
SAREKAT – TERMINAL, Hoaks itu bukan cuma soal informasi palsu. Ia lebih mirip cerminan psikologis manusia yang ternyata gampang banget percaya pada hal-hal yang pengen dia dengar. Mirisnya, di era yang banjir informasi ini, masalah terbesar kita bukan kurang berita, tapi kurang otak dingin buat mikir.
MIT pernah bikin penelitian pada tahun 2018 yang hasilnya agak bikin nyesek hoaks nyebar enam kali lebih cepat dibanding berita benar. Kenapa? Karena hoaks itu emosional, heboh, kadang bikin deg-degan. Sementara kebenaran itu tenang, datar, dan seringkali membosankan. Wajar saja kalau orang lebih milih drama ketimbang fakta.
Coba lihat kehidupan sehari-hari. Grup WhatsApp keluarga, misalnya. Satu orang kirim pesan “awas jangan minum ini, bisa mati mendadak,” langsung bikin panik seisi grup. Padahal sumbernya nggak jelas. Tapi siapa peduli, yang penting seru.
Dan, biar nggak terus-terusan jadi korban atau malah jadi penyebar, ada beberapa trik simpel yang bisa dipakai.
1. Tanyakan Pertanyaan Mendasar
“Siapa yang ngomong?”, “Buktinya di mana?”, “Ini kejadian kapan?” tiga pertanyaan sederhana ini bisa langsung bikin hoaks lemes. Masalahnya, banyak orang malas nanya karena dianggap ribet. Padahal ribet sedikit lebih baik daripada jadi korban kebodohan massal.
2. Jangan Baper sama Bahasa Drama
Hoaks itu suka pakai kata-kata hiperbolis “darurat!”, “bahaya besar!”, “rahasia yang disembunyikan!” Tujuannya jelas, bikin kita panik. Kalau ada informasi yang bikin jantung copot duluan sebelum mikir, besar kemungkinan itu cuma jebakan betmen.
3. Logika Itu Gratis, Jangan Disia-siakan
Obat yang katanya bisa nyembuhin semua penyakit? Ya jelas bohong. Sama aja kayak bilang mie instan bisa bikin semua orang bahagia. Kalau klaimnya kedengaran terlalu ajaib, biasanya memang palsu.
4. Jangan Tergocek sama “Nama Besar”
Hoaks sering nyatut nama WHO, kampus luar negeri, atau dokter terkenal. Padahal kalau dicek, nggak ada bukti sama sekali. Tapi orang tetap percaya karena “ya masa sih WHO bohong?” ya… masa iya sih kamu percaya WhatsApp lebih dari WHO?
5. Sadari Bias Sendiri
Hoaks yang paling gampang bikin kita percaya adalah yang sesuai sama isi kepala kita. Kalau udah benci sama tokoh politik tertentu, berita jelek soal dia bakal langsung kita telan mentah-mentah. Itu namanya bias konfirmasi. Singkatnya bukan hoaks yang nipu kamu, tapi dirimu sendiri.
6.Pentingnya Verivikasi
Kalau ada kabar heboh di grup WhatsApp, coba cek di media besar. Kalau nggak ada, besar kemungkinan hoaks. Gampang kan? Masalahnya, orang lebih suka jadi yang pertama nyebar berita ketimbang yang pertama mikir.
7. Skeptis Beda dengan Sinis
Jangan langsung percaya, tapi juga jangan langsung nolak. Skeptis artinya “oke, menarik, tapi mana datanya?” Itu bikin kita tetap kritis tanpa kehilangan rasa ingin tahu. Sinis beda lagi, itu biasanya sudah level “ah, semua berita bohong” dan ini sama bahayanya.
Hoaks Masih Banyak Berkeliaran
Hoaks bisa hidup cuma kalau ada yang percaya dan nyebarin. Jadi, kalau masih banyak hoaks berkeliaran, ya itu karena banyak orang lebih suka drama daripada data.
Pertanyaannya sekarang kamu mau jadi penonton drama gratis di grup WhatsApp, atau mau jadi orang waras yang bikin grup itu sedikit lebih sehat?