Filsafat Cinta Stoikisme: Cinta Harusnya yang Menguatkan, Bukan Mengorbankan Kebebasan Batin
SAREKAT – RAGAM, Pandangan filsafat tentang Stoikisme ini, cinta bukanlah keharusan untuk selalu terikat emosional yang membutakan, tapi ini tentang saling menghormati kebebasan dan integritas yang dimiliki individu.
Seorang yang Stoikisme itu tidak mengandalkan banyak orang lain, yang untuk membuat dirinya merasa berharga. Karena seperti apa yang diajarkan oleh Epictetus
“Jangan menggantungkan kebahagiaan diri pada sesuatu yang berada di luar kendalimu.” Termasuk kepada pasangan.
Hubungan yang sehat bagi para filsuf di dunia ini seperti Marcus Aurelius dan Seneca, adalah dua jiwa yang dipertemukan dengan keadaan yang utuh, bukan dua sosok yang malah saling menambal luka. Cinta sejati terlahir dari kekuatan, bukan ketergantungan pada pasangan.
Ketika dua orang yang saling mencintai memiliki semangat Stoiki, mereka tidak merasa saling memiliki , melainkan saling menemani. Mereka juga tidak memaksa, melainkan memahami. Tidak meleburkan identitas, tapi tetap mempertahankan keutuhan dalam diri yang harmoni.
Kebebasan yang menjadi fondasi, kepercayaan tumbuh karena tidak ada rasa takut kehilangan, melainkan keyakinan bahwa cinta yang sejati adalah yang tidak menuntut kontrol. Cinta seperti itu yang mengizinkan mempunyai ruang untuk berkembang, dan menerima bahwa perubahan adalah sebagian dari perjalanan hidup.
Seorang Stoik melihat cinta itu sebagai latihan kebajikan; kesabaran, kerendah hatian, kejujuran, dan keteguhan hati. Bukan tentang kepemilikan, melainkan tentang kehendak untuk berbagi kehidupan tanpa kehilangan arah diri.
Maka jika cinta terasa menekan dan membatasi bahkan sampai kehilangan jati dirimu berarti itu bukan cinta sejati. Cinta sejati itu justru yang menguatkan kita untuk menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri, tanpa harus merasa mengorbankan kebebasan batin.
