Dunia Kerja Makin Sempit, Kita Harus Pertanyakan Peran AI di Tengah Arus Milliaran Manusia
SAREKAT – OTOSIRKEL, Di tengah derasnya arus perkembangan teknologi, terutama Artificial Intelligence, dunia kerja kini memasuki era baru yang tidak selalu ramah bagi para pencari kerja. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, pekerjaan semakin sulit didapat, sementara jumlah penduduk usia produktif terus bertambah. Pertanyaannya apakah AI membantu manusia, atau justru menggeser keberadaan manusia di lapangan kerja?
Lonjakan Penduduk Usia Produktif
Menurut data World Bank, pada 2024 populasi dunia telah mencapai 8,1 miliar jiwa, dengan lebih dari 60% merupakan usia produktif 15–64 tahun. Indonesia sendiri diproyeksikan mengalami puncak bonus demografi pada 2030, dengan sekitar 70% dari total populasi merupakan usia kerja. Idealnya, situasi ini menjadi kekuatan ekonomi. Namun kenyataan di lapangan berbeda.
Peluang Kerja Makin Terbatas
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia tercatat 5,32%, setara dengan 7,2 juta orang pengangguran.
Sementara itu, jumlah angkatan kerja mencapai 144 juta jiwa, meningkat dari tahun sebelumnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara berkembang. Negara maju pun menghadapi tekanan yang sama, hanya dengan bentuk berbeda lebih banyak job displacement akibat teknologi, bukan karena kekurangan lapangan kerja secara absolut.
AI Alat Bantu atau Alat Pengganti?
Masuknya AI ke berbagai lini industri justru mempercepat otomasi pekerjaan. Banyak penelitian melaporkan bahwa sekitar 400–800 juta pekerjaan di seluruh dunia berisiko tergantikan oleh otomasi dan AI pada tahun 2030. Pekerjaan yang berulang dan berbasis data seperti operator, kasir, customer service, hingga pengemudi kini berada di bawah ancaman otomatisasi.
Contoh nyata terlihat pada layanan pelanggan (customer service). Banyak perusahaan kini menggunakan chatbot berbasis AI yang dapat menangani ribuan interaksi tanpa henti. Efisiensi ini bagus bagi perusahaan, tapi menghilangkan peluang kerja bagi ribuan manusia.
Di sektor media dan kreatif, keberadaan AI seperti ChatGPT, DALL·E, hingga Sora juga menimbulkan keresahan. Konten dapat dihasilkan dalam hitungan detik, sementara jurnalis, desainer, dan editor menghadapi ancaman penurunan permintaan.
Pertumbuhan Ekonomi Tak Selaras dengan Distribusi Kerja
Meski teknologi mendorong pertumbuhan ekonomi global, distribusinya tidak merata. Laporan Oxfam 2024 menyebut bahwa 1% populasi terkaya menguasai hampir 50% kekayaan global, sementara jutaan orang masih bekerja di sektor informal dan bergaji minim. Di sisi lain, perusahaan raksasa teknologi mencatatkan keuntungan miliaran dolar, sebagian besar dari efisiensi operasional lewat AI.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Pertanyaannya sekarang bukan hanya “apa yang akan terjadi”, tapi “apa yang harus kita lakukan?” Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu regulasi yang adil. Pemerintah harus mengatur penggunaan AI agar tidak merugikan manusia. Regulasi tentang etika AI, perlindungan data, dan hak pekerja perlu diperkuat. Uni Eropa sudah melangkah lebih dulu dengan EU AI Act, sementara negara lain, termasuk Indonesia, masih tertinggal.
Dialog Sosial Harus Ada
Dunia kerja memang berubah. Tapi perubahan ini tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang atau perusahaan. Di tengah miliaran manusia yang butuh hidup layak, kita harus berani mempertanyakan untuk siapa sebenarnya AI ini dikembangkan?
Apakah AI hadir sebagai mitra manusia atau menjadi pengganti manusia? Apakah efisiensi yang dikejar mengorbankan hak hidup orang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi bagian dari dialog sosial yang luas, karena masa depan dunia kerja bukan hanya urusan teknologi saja, tapi juga urusan kemanusiaan.