Belajar Pengelolaan Pajak Dari Romawi Saat Negara Di Landa Krisis
Kekaisaran Romawi mengalami suatu krisis ekonomi yang disebabkan oleh berbagai faktor, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas keuangannya dan mengubah dinamika kehidupan sosial politik masyarakat pada masa itu. Salah satu penyebab utama dari masalah ini adalah ketidakseimbangan dalam sistem keuangan dan perbankan yang ada.
Banyak senator dan bangsawan Romawi yang meminjam uang dari bankir untuk membiayai proyek-proyek besar, seperti pembangunan properti dan perluasan lahan pertanian. Fenomena ini terjadi di akhir pemerintahan Kaisar Augustus, yang berkuasa dari tahun 27 SM hingga 14 M. Pada masa itu, kaisar menurunkan suku bunga pinjaman dari 12 persen menjadi 4 persen, yang menyebabkan deflasi. Akibatnya, banyak pengusaha dan senator yang tertarik berbisnis karena mereka melihat prospek yang menguntungkan.
Proses pembelian lahan secara masif pada waktu itu mencerminkan pengembalian pada hukum yang pernah ditetapkan oleh Julius Caesar pada tahun 49 SM. Di era Julius, para kreditur diwajibkan untuk menginvestasikan sepertiga dari kekayaan mereka dalam bentuk tanah di Italia. Menurut Cosmo Rodewald dalam bukunya *Money in The Age of Tiberius* (1976:3), para senator sempat menghidupkan kembali hukum ini melalui dekrit, namun akhirnya dibatalkan oleh Tiberius dalam upayanya untuk menangani krisis ekonomi yang terjadi.
Tiberius, yang menjabat sebagai kaisar dari tahun 14 M hingga 37 M, melakukan efisiensi anggaran dengan memangkas penggunaan kredit secara umum. Pada tahun 33 M, di tengah krisis, harga tanah mulai merosot karena para kreditur menahan dana mereka. Aktivitas perdagangan melambat tajam, terutama karena pedagang mengalami kekurangan modal untuk membeli barang atau berinvestasi dalam usaha baru.
Sektor agrikultur, yang merupakan tulang punggung ekonomi Romawi, juga terdampak. Banyak lahan dijual dan tidak dikelola dengan baik, sementara faktor eksternal seperti bencana alam, wabah penyakit tanaman, dan eksploitasi tanah yang berlebihan turut memperparah penurunan produktivitas pertanian. Akibatnya, pasokan bahan pangan menurun sementara harga bahan pokok melambung tinggi. Kondisi ini semakin memperburuk ekonomi, karena gangguan pada sektor pertanian berdampak domino pada sektor-sektor lainnya yang bergantung padanya.
Di sisi lain, banyak debitur kesulitan untuk melunasi utang mereka. Terpaksa, mereka menjual aset, properti, atau tanah dengan harga yang sangat rendah. Ketika nilai properti anjlok drastis dan banyak debitur gagal memenuhi kewajibannya, sistem perbankan Romawi terancam kolaps, sehingga menimbulkan lingkaran setan yang sulit diputus.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh masalah finansial yang dialami beberapa perusahaan, bank, dan tokoh-tokoh penting di senat. Salah satu contohnya adalah Seuthes and Son dari Alexandria, yang terjebak dalam kesulitan setelah kehilangan tiga kapal berisi barang akibat badai di Laut Merah. Nilai aset mereka merosot seiring jatuhnya harga komoditas, termasuk bulu burung unta dan gading. Di Roma, bankir terkemuka seperti Quintus Maximus dan Lucius Vibo juga menghadapi risiko besar setelah kerugian yang dialami oleh Seuthes and Son dan Malchus and Co. yang merupakan perusahaan dari Fenisia yang bangkrut akibat pemogokan buruh.
Malchus and Co. menjadi salah satu korban utama dalam “serbuan” ke bank. Hilangnya kepercayaan masyarakat menyebabkan banyak pelanggan menarik simpanan mereka, akhirnya memicu kolapsnya perusahaan tersebut.
Publius Spencer, seorang bangsawan kaya, menjadi salah satu penyebab langsung terjadinya krisis ekonomi. Pada saat itu, ia menarik pinjaman sebesar 30 juta sesterces dari bank. Namun, bank tidak dapat memenuhi permintaan likuiditas yang besar tersebut dan akhirnya mengalami kebangkrutan.
Kebangkrutan bank tersebut berdampak luas, menyebabkan beberapa bank di daerah lain juga jatuh. Krisis ini menyebar, menghasilkan efek domino yang memengaruhi seluruh kekaisaran dan bahkan wilayah lainnya, seperti Mesir, Yunani, dan Prancis (Galia).
Lebih jauh lagi, krisis ekonomi Romawi Kuno diperburuk oleh kebijakan moneter dari pemerintahan sebelumnya yang tidak tepat. Penguasa sebelumnya juga gagal untuk menerapkan regulasi yang ketat, sehingga situasi menjadi rentan terhadap penyalahgunaan.
Akibat peredaran uang logam yang tidak terkendali, inflasi melonjak tinggi dan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang Romawi menurun drastis. Kondisi ini menimbulkan kepanikan di kalangan investor serta masyarakat umum, yang berujung pada krisis likuiditas yang semakin parah.
Strategi Kebijakan Romawi Dalam Menghadapi Krisis
Dalam menghadapi krisis yang semakin mendekat, Kaisar Tiberius mengambil langkah-langkah strategis untuk menstabilkan perekonomian. Ia mengeluarkan dekrit yang menginstruksikan pemerintah untuk menyuntikkan dana ke dalam sistem perbankan.
Dana tersebut digunakan untuk membeli aset-aset bermasalah serta memberikan pinjaman darurat kepada bankir yang menghadapi ancaman kebangkrutan. Langkah ini terbukti efektif dalam mencegah keruntuhan sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat.
Untuk meringankan beban para debitur, pemerintah Romawi memberlakukan moratorium atau penangguhan pembayaran utang. Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi debitur untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka tanpa tekanan dari pihak kreditur.
Sebanyak 100 juta sesterces dari kas kekaisaran dialokasikan untuk bank-bank tepercaya, yang diharapkan dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada rakyat kecil, terutama petani yang menghadapi kesulitan ekonomi selama tiga tahun ke depan.
Intervensi ini berhasil mengurangi tekanan dan mencegah kehancuran total sistem keuangan. Stabilitas harga properti terjaga, dan sebagian besar bank mampu melanjutkan operasionalnya.
Tiberius juga mengambil inisiatif untuk menstabilkan nilai mata uang dengan mengurangi peredaran uang logam dan meningkatkan kualitas produksi uang. Upaya ini berhasil mengendalikan inflasi dan memulihkan kepercayaan terhadap mata uang Romawi.
Sejarawan Charles Bartlett menilai bahwa tindakan Tiberius lebih efektif dibandingkan keputusan yang diambil oleh senat. Ia tetap fokus pada penyediaan likuiditas dan menghentikan penurunan pasar tanah.
“Ketika kita mengamati Tiberius, terlihat bahwa begitu masalah tersebut diperhadapkannya, ia pertama-tama menciptakan masa tenggang daripada melanjutkan tuntutan yang berkontribusi pada situasi krisis. Ini meringankan tekanan, meskipun hanya bersifat sementara,” ungkap Bartlett dalam kolomnya di laman Weatherhead Harvard University.
Salah satu aspek paling mencolok dari kebijakan Romawi adalah komitmen untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Alih-alih memangkas anggaran sektor publik dan menaikkan pajak, pemerintah Romawi justru meningkatkan
alokasi dana untuk program-program sosial, seperti distribusi bahan makanan dan pembangunan infrastruktur.
Krisis Ekonomi Di Era Kebijakan Modern
Narasi tentang krisis Romawi pada tahun 33 M telah berkembang di tengah ketidakpastian ekonomi modern, dengan penekanan pada keterkaitan yang terlihat selama berbagai krisis keuangan sejak Depresi Besar. Pandangan ini diungkapkan oleh Colin Elliot dalam artikel jurnalnya, “The Financial Crisis of A. D. 33: Past and Present. ”
Elliot berusaha menggali bagaimana peristiwa sejarah dimanfaatkan untuk memberikan komentar tentang kondisi ekonomi saat ini, serta mengungkapkan hubungan yang kompleks antara masa lalu dan masa kini. Ia mencatat bahwa persepsi terhadap krisis kuno dapat berubah secara signifikan bergantung pada konteks politik dan ekonomi yang dihadapi para sarjana kontemporer.
Krisis ekonomi Romawi pada tahun 33 M memberi kita beberapa pelajaran penting yang relevan untuk saat ini. Pertama, intervensi pemerintah yang tepat waktu dan terarah dapat mencegah krisis dari semakin parah. Kedua, kebijakan yang berfokus pada perlindungan kepentingan rakyat, seperti moratorium utang dan peningkatan alokasi dana sosial, dapat membantu mengembalikan kepercayaan dan stabilitas ekonomi. Ketiga, stabilisasi mata uang dan pengendalian inflasi merupakan langkah krusial dalam menghadapi krisis keuangan.
Respon Tiberius yang memberikan likuiditas besar dengan bunga nol bisa dianggap sebagai salah satu solusi awal yang sejalan dengan kebijakan “Quantitative Easing” dalam ekonomi modern.
Namun, ketika kita melihat kebijakan yang sering diambil oleh pemerintah modern dalam menangani krisis ekonomi, terdapat beberapa perbedaan mencolok. Di beberapa negara, respons terhadap krisis ekonomi sering kali dilakukan dengan meningkatkan pajak, memotong anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan, atau mengurangi subsidi kebutuhan pokok.
Salah satu contoh nyata adalah krisis utang Yunani yang dimulai pada tahun 2009, ketika pemerintah setempat mengumumkan defisit anggarannya jauh lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Pengumuman ini memicu kekhawatiran di pasar keuangan mengenai kemampuan Yunani untuk membayar utang yang mencapai 170 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.
Untuk menghadapi krisis ini, Yunani menerima beberapa paket dana talangan dari Uni Eropa dan IMF, yang sering kali disertai syarat-syarat ketat. Yunani diharuskan melakukan langkah-langkah penghematan yang drastis, termasuk kenaikan pajak dan pemotongan besar-besaran pada belanja publik, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, dan pensiun.
Meskipun tindakan tersebut dianggap sebagai langkah penghematan, seringkali malah memperburuk kondisi ekonomi dan menderita beban hidup masyarakat. Peningkatan pajak dapat menurunkan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi, sementara pemotongan anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan dapat berpengaruh negatif pada kualitas sumber daya manusia serta akses masyarakat terhadap layanan dasar.
Sebagai alternatif, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kebijakan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, daripada sekadar memotong anggaran sektor publik atau menaikkan pajak.