Barang Mewah, Kelas Menengah, dan Cita-cita Jadi Sultan
SAREKAT – TERMINAL, Entah sejak kapan, tapi kayaknya jadi “kelihatan kaya” sekarang jauh lebih penting daripada benar-benar kaya. Minimal di Instagram. Maksimal di cicilan 36 bulan. Barang-barang mewah yang dulu cuma bisa dilirik dari balik etalase, sekarang udah mejeng di tangan anak kos, pegawai kontrak, sampe yang gajinya tiap bulan habis sebelum tanggal tua lewat depan pintu.
Yang lucu (atau sedih?), mayoritas barang-barang mewah itu justru dibeli sama kelas menengah ke bawah. Iya, yang kalau bensin naik 500 perak langsung nyumpahin pemerintah, tapi tetap gas beli iPhone 15 Pro Max biar feed-nya estetik. Di satu sisi nyengir, di sisi lain ngelus dompet.
Kenapa bisa begitu? Jawabannya ada dua: gengsi dan cicilan. Kombinasi maut ini bikin siapa pun merasa pantas punya barang yang sebenernya nggak sesuai isi dompet. “Tapi kan bisa dicicil, Bro.” Lah iya, tapi cicilannya ngalahin bayar kos. Kadang satu barang branded itu nilainya sama kayak lima kali uang makan sebulan. Tapi demi status, semua dilibas.
Mau tas, sepatu, sampe kopi literan—semuanya sekarang pakai label “premium”. Karena katanya, “Yang penting kelihatan.” Soal dapur ngebul? Itu urusan nanti. Yang penting story dulu. Biar disangka kaya, minimal dalam 15 detik pertama.
Fenomena ini bukan cuma soal gaya hidup. Ini udah masuk ke ranah eksistensial: kalau nggak pamer, apa iya kita beneran hidup? Di zaman di mana orang lebih peduli jumlah like daripada jumlah tabungan, jadi kaya tuh bukan lagi tujuan, tapi semacam konten.
Tapi ya sudahlah. Mungkin emang udah zamannya begitu. Jadi orang sederhana sekarang malah dianggap gagal. Padahal yang bisa hidup tenang tanpa cicilan itu sekarang langka, hampir kayak orang yang masih percaya tabungan lebih penting dari tote bag LV.
Yah, semoga aja kita masih bisa makan nasi sebelum gaji cair. Karena percuma pakai sepatu jutaan, kalau ke Indomaret aja ngandelin Shopee PayLater.