Muter Musik Makin Dilarang, Muter Suara Rakyat di Jamin gk Bakal di Dengar
SAREKAT – AKTUAL, Tahun ini, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) semakin gencar menerapkan tarif royalti kepada pengusaha dan individu yang memutar atau membawakan lagu di ruang publik. Padahal, ada yang sudah mengantongi izin langsung dari pencipta lagu. Dalih LMKN, karya seni harus dihargai dengan cara membayar royalti.
Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar sekaligus menjadi penanda bahwa dunia musik Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak pihak menilai kebijakan LMKN hanya menguntungkan segelintir pejabat, sementara industri musik justru tertekan.
Kebijakan ini juga memicu protes dari para pelaku industri musik. Menurut mereka, justru musisi membutuhkan lagunya diputar di berbagai tempat agar bisa dikenal masyarakat. Jika setiap pemutaran lagu dibatasi dengan pungutan, maka justru menghambat popularitas karya.
Bagi musisi, keuntungan finansial seharusnya diperoleh dari penjualan karya, bukan dari pembatasan pemutaran. “Kalau lagunya tidak diputar, bagaimana bisa dikenal?” begitu kira-kira keresahan yang muncul.
Menuntut Tranparansi Atas Pungutan Royalti LMKN
Persoalan terbesar yang dipersoalkan publik adalah transparansi. LMKN memungut royalti dengan sistem perhitungan tertentu — misalnya di restoran dan kafe dihitung per kursi, sementara di hotel dihitung per kamar. Pertanyaannya, apakah dana yang terkumpul benar-benar sampai ke tangan musisi? Kalau sampai, berapa jumlahnya? Dari mana saja sumber pungutannya?
Ketiadaan laporan yang jelas membuat publik meragukan integritas LMKN. Lebih jauh lagi, pungutan ini dinilai memberatkan pengusaha. Ketika pengusaha harus membayar royalti, otomatis biaya operasional meningkat, dan ujung-ujungnya harga makanan maupun minuman juga naik.
Kasus penyanyi Ari Lasso menjadi sorotan. Ia hanya menerima sekitar Rp700 ribu dari LMKN, jumlah yang dianggap tidak masuk akal. Ia pun menuntut penjelasan, karena LMKN tidak pernah transparan terkait perhitungan dan distribusi dana royalti.
Tak Tanggung-tanggung, Setel Murottal Alquran pun di Komersilkan
Polemik makin melebar ketika LMKN juga dikabarkan mengenakan tarif royalti untuk pemutaran murottal Al-Qur’an maupun suara alam. Kejadian ini sempat mencuat di Mataram, ketika seorang pengusaha hotel mengaku diminta membayar Rp4,4 juta hanya karena memutar murottal Al-Qur’an. Padahal, tidak ada musik komersial yang diputar.
Hal ini memicu amarah publik. Di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit, LMKN dianggap mencari keuntungan dengan cara yang membebani masyarakat.
Solusinya Setel Suara Rakyat, di Jamin Gk Akan di Tarik Royalti
Ironisnya, LMKN begitu sigap menarik royalti, tetapi abai terhadap tuntutan masyarakat. Publik menilai, lebih baik yang diputarkan adalah “suara rakyat”, karena itu dijamin tidak akan dikenai royalti — sebab para pejabat dianggap tuli terhadap keluhan masyarakat.
Hingga kini, permintaan transparansi dari musisi dan masyarakat tetap tidak digubris. LMKN hanya mengklaim bertanggung jawab kepada Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini dinilai janggal, karena logikanya, dana royalti seharusnya dilaporkan kepada musisi sebagai pencipta karya. Sayangnya, laporan keuangan yang ditunggu-tunggu itu tak pernah benar-benar dibuka.