Liputan

Pengusaha Lokal Keluhkan Tunggakan Pembayaran Proyek PLTU Suralaya Unit 9-10

SAREKAT – CILEGON, Sejumlah pengusaha lokal yang terlibat dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9 dan 10 mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap PT Widya Satria (PT WS), subkontraktor proyek tersebut. Mereka menuding PT WS belum melunasi pembayaran pekerjaan yang telah mereka selesaikan, meski kontrak menjanjikan pembayaran dalam hitungan hari setelah progres disetujui.

Salah satu pengusaha lokal, yang enggan disebutkan namanya, menyatakan bahwa tagihan pembangunan gedung administrasi (Admin Building) PLTU yang dikerjakannya belum dibayar selama hampir setahun. Padahal, sesuai kontrak, pembayaran seharusnya dilakukan maksimal tiga hari setelah pekerjaan disetujui.

“Sudah hampir setahun, belum ada kejelasan. Ini tidak hanya melanggar kontrak, tapi juga mengacaukan arus kas kami,” ujarnya, Cilegon, 9 Juli 2025.

Kekecewaan semakin membesar ketika PT WS diketahui justru memberikan kontrak baru kepada perusahaan lain, sementara kontrak lama yang belum dibayar masih aktif.

“Kami masih terikat kontrak. Tapi tanpa pemberitahuan apa pun, mereka lempar kontrak baru ke pihak lain. Ini sangat merugikan,” tambahnya.

Dari informasi yang dihimpun, nilai tagihan yang belum dibayarkan kepada salah satu pengusaha lokal tersebut mencapai sekitar Rp 3,1 miliar. Jumlah yang dinilai sangat signifikan, terutama bagi pengusaha lokal yang tidak memiliki cadangan modal sebesar perusahaan-perusahaan besar.

Ironisnya, meski PT WS belum membayar para subkontraktor, perusahaan ini diduga telah menerima pembayaran sekitar Rp 13,5 miliar dari kontraktor utama, PT Hutama Karya Persero (PT HK), dan pemilik proyek, PT Indo Raya Tenaga (PT IRT). Ketidakjelasan aliran dana ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana dana tersebut mengalir?

PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 sendiri merupakan proyek strategis nasional dengan kapasitas besar, melibatkan banyak pihak dalam konsorsium, termasuk PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN), Barito Pacific Group, dan KEPCO dari Korea Selatan. PT Indo Raya Tenaga memegang saham mayoritas sebesar 51 persen dalam proyek ini.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PT WS belum memberikan klarifikasi resmi. Sementara para pengusaha lokal yang merasa dirugikan menegaskan akan membawa persoalan ini ke ranah hukum atau lembaga berwenang jika pembayaran tidak kunjung dilakukan.

“Kami ingin kejelasan dan keadilan. Kalau tidak ada penyelesaian dalam waktu dekat, kami akan menempuh jalur hukum,” ujar pengusaha tersebut.

Kasus ini menambah catatan panjang persoalan pembayaran yang kerap membelit proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Di balik megahnya pembangunan, tak jarang suara para pelaku lokal yang menjadi roda penggerak di lapangan justru terpinggirkan.

Admin Sarekat

Menghidupkan Suara Yang Tersekat di antara suara lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *