Alasan Lebih Nyaman Ngaku Freelance Ketimbang Ngaku Wartawan
SAREKAT – OTOSIRKEL, Di tengah era ketika gelar akademik mudah dipamerkan lewat bio Instagram dan status WhatsApp, menjadi wartawan justru terasa seperti pekerjaan yang harus disembunyikan. Fenomena ini bukan sekadar asumsi, tapi suara lirih yang terdengar dari sejumlah jurnalis muda yang lebih nyaman bilang “freelancer” ketimbang “wartawan”.
“Saya bilang ke orangtua kalau kerja di media, tapi gk pernah saya sebut wartawan. Soalnya kalau bilang wartawan, reaksi orang tuh langsung semacam… ‘gimana gitu’,” ujar RA, seorang jurnalis Cilegon, yang lebih sering meliput dari kafe ketimbang kantor redaksi.
Profesi wartawan yang dulu dianggap prestisius, kini mulai dipandang sinis oleh sebagian masyarakat. Mulai dari stigma “wartawan bodrek”, tudingan cari sensasi, sampai anggapan bahwa kerja jurnalis cuma “copas rilis” membuat banyak pelaku media ragu mencantumkan identitasnya secara terang-terangan. Ironisnya, mereka yang ogah mengaku wartawan, tetap rajin hadir di konferensi pers dan rebutan tempat paling depan saat liputan.
“Kita kuliah komunikasi, jurnalistik, ikut pelatihan media, tapi pas kerja malah malu bilang wartawan. Kalau saya sih lebih nyaman bilang Freelance aj atau sekalian masih nganggur, tapi anehnya ada saja yang bangga gitu sama profesi wartawan. Kayak dunia nggak lengkap kalau belum tahu dia wartawan,” kata MN sembari tertawa.
Sementara itu, pengamat media, Dina K. Nuryanti, menyebut kondisi ini sebagai bentuk “krisis martabat profesi”. Menurutnya, banyak jurnalis bekerja dalam tekanan, tidak digaji layak, tapi dituntut berintegritas tinggi. “Tanpa perlindungan dan apresiasi, tentu rasa bangga itu memudar. Wajar jika akhirnya lebih nyaman “Freelance” atau “masih nganggur” sekalian ketimbang identitas jurnalis,” ujarnya.
Di tengah semua itu, ada satu ironi yang tak bisa dihindari masyarakat masih mengandalkan media untuk mencari tahu kebenaran, tetapi tak lagi menghormati mereka yang menulisnya.