Terminal

Bertahun-tahun Tinggal di Cilegon dan Berdamai Dengan Hal-hal Menyebalkan di Balik Lebel “Kota Santri”

SAREKAT- TERMINAL, “Cilegon” Kota yang diberi nama dengan doa, disematkan label dengan niat baik “Kota Santri”, katanya.
Di dalamnya, adzan berkumandang lima kali sehari, masjid tumbuh subur seperti pohon rindang, dan jubah-jubah putih berjalan percaya diri di jalanan yang penuh debu.
Tapi seperti hujan yang tak selalu membawa sejuk, tidak semua yang religius itu otomatis teduh.

Saya tinggal di kota ini nyaris separuh hidup.
Menua bersama cerobong asap, tumbuh bersama suara mesin pabrik, dan belajar mendengarkan detak kota yang kadang lebih nyaring daripada hati sendiri.

Antara Nama dan Nyata

Julukan “Kota Santri” terdengar manis di telinga,
tapi seperti manis teh yang terlalu banyak gula, ia tak selalu enak diteguk.
Keislaman di kota ini, kadang terasa lebih banyak di spanduk daripada dalam sikap,
lebih kuat di mulut daripada dalam mata yang memandang berbeda dengan kasih.

Saya pernah melihat perbedaan dipaksa untuk diam.
Agama dijadikan pagar, bukan pelukan.
Dan di tengah semua itu, saya belajar:
bahwa kota bisa tampak alim, tapi belum tentu ramah.

Cinta yang Berdebu

Cilegon bukan hanya sekedar kota santri. Tapi ia juga kota baja, kota api, kota debu.
Jalan yang menuju arah Ciwandan itu setiap pagi langit bukan biru, tapi kelabu.
Udara bukan segar, tapi berat, seperti menelan amarah yang tak selesai-selesai.
Pabrik-pabrik besar berdiri seperti raksasa, tapi warganya berjalan kecil di sela trotoar yang tak ada.
Dana mengalir deras ke atas, tapi hujan tetap tumpah ke jalanan yang bolong.

Di sini, manusia hidup berdampingan dengan mesin,
tapi sering kali dilupakan sebagai makhluk bernapas.
Mereka yang bicara soal hak-hak udara bersih, hak berekspresi, hak memilih jalan hidup sering dianggap terlalu keras, terlalu liberal, terlalu bla… blaa.. “bukan dari sini”.

Yang Menyebalkan Tapi Yang Mengajari

Hal-hal menyebalkan di Cilegon datang tanpa suara, tapi terasa, komentar pelan soal pakaian, tatapan sinis karena beda pandangan, ketakutan bicara lantang karena terlalu banyak mata yang mengintai. Diskusi seni yang dibubarkan, kafe yang sunyi karena takut dianggap kafir.

Tapi dari semua itu, saya belajar berdamai. Bukan dengan menyerah, tapi dengan bertahan. Bukan dengan ikut arus, tapi dengan menjadi batu kecil yang tetap ada di dasar sungai.

Saya menemukan teman satu rasa, yang menulis puisi di sela kerja pabrik, yang melukis di kamar kos sempit, yang berdoa dengan caranya sendiri, yang mencintai kota ini tanpa harus menutup mata dari luka-lukanya.

Mencintai Tanpa Buta

Kini saya mencintai Cilegon dengan cara yang baru. Seperti mencintai orang tua yang keras; dengan jarak, dengan kejujuran, dengan doa. Saya tidak ingin Cilegon menjadi kota yang sempurna, saya hanya ingin ia menjadi kota yang bisa mendengar.

Bahwa keberagaman bukan ancaman, tapi anugerah. Bahwa kebebasan berpikir bukan keburukan, tapi kebutuhan. Bahwa iman tidak harus memaksa, tapi bisa mengayomi.

Cilegon, semoga tak hanya menjadi kota santri, tapi juga kota yang mampu menampung semua yang ingin menetap dengan damai. Termasuk saya. Termasuk mereka yang selama ini kau anggap “berbeda”.

Admin Sarekat

Menghidupkan Suara Yang Tersekat di antara suara lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *