85% Transaksi Masih Pakai Dolar, Mungkinkah Indonesia Siap Lepas?
SAREKAT – AKTUAL, Perhari ini negara-negara yang bergabung dengan BRICS mengadakan pertemuan penting untuk membahas hal-hal yang lainnya, termasuk Indonesia pun ada disana. Namun kabar yang mengejutkan pun datang secara tiba-tiba saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif tambahan sebesar 10% di terapkan pada negara yang tergabung dengan BRICS. Sontak kabar ini mengejutkan banyak pihak, karena ini akan menambah tarif yang lebih mahal terhadap barang impor.
Di tengah ketidakpastian geopolitik dan semakin proteksionis nya kebijakan ekonomi Amerika Serikat, Indonesia dihadapkan pada dilema yang strategis yaitu, ikut bertahan dalam tatanan Dollar AS atau merapat ke blok BRICS yang kini mulai menggalakkan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi internasional.
Karena BRICS telah aktif mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan lintas negara, pada KTT BRICS 2023 di Johannesburg, Afrika Selatan yang membahas rencana pembentukan mata uang baru.
Pembahasan ini tentang bagaimana peran Indonesia dalam melepaskan diri terhadap dollar AS yang semakin hari makin meningkat daya konsumsi nya terhadap dollar.
Bisa kita ketahui per hari ini nilai tukar mata uang rupiah ke dollar Rp16.245 meskipun Indonesia telah mencoba mengurangi ketergantungan terhadap USD, namun data menunjukkan, dominasi dollar masih tinggi dapat kita lihat contohnya:
– sekitar 85% transaksi perdagangan internasional Indonesia masih menggunakan USD (sumber: LPEM FEB UI, 2024)
– Sekitar 60% utang luar negeri Indonesia terutama korporasi swasta masih dalam bentuk dollar (sumber: Bank Indonesia, 2025).
Meski begitu, inisiatif BI melalui Loval Currency Settlement (LCS) dengan Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Jepang mulai menunjukkan hasil.
Pada kuartal I 2025, nilai transaksi LCS meningkat 47% dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu mencapai Rp 37,5 Triliun.
Dari sini keuntungan pertama Indonesia gabung BRICS akan memberi akses ke kerangka kerjasama moneter alternatif, mengurangi risiko akibat fluktuasi USD, seperti tantrum atau embargo ekonomi.
Keuntungan kedua Indonesia bisa mengakses pendanaan dari BRICS (NDB) dengan bunga lebih renda dan tanpa ketentuan politik seperti IMF atau BI.
Dan keuntungan ketiga adanya penguatan kerjasama memperkuat posisi negara-negara berkembang dalam tatanan ekonomi global.
Catatan penting lainnya kita harus mengingat ketegangan geopolitik ini terlalu dekat dengan BRICS, terutama Rusia dan Tiongkok, hal ini dapat berakibat pada hubungan strategis Indonesia dengan negara barat.
Kestabilan finansial penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional menuntut stabilitas nilai tukar domestik dan kepercayaan pasar.
Karena sampai saat ini pun masih belum ada realisasi konkret mengenai pembentukan “mata uang BRICS” karena proses ini masih dalam tahap konseptual.