Kilas

Fenomena Quiet Quitting, Versi Halus dari Resign Mental”

SAREKAT – KILAS, Pernah dengar istilah quiet quitting tidak? ini bukan tentang karyawan yang diam-diam cabut dari kantor terus tiba-tiba nongol di Bali buat healing. Ini tentang mereka yang tetap kerja, tapi ya secukupnya aja. Sesuai kontrak. Sesuai gaji. Sesuai nyawa.

Nggak ada lagi lembur penuh pengabdian. Nggak ada lagi semangat 45 demi KPI yang makin absurd. Promosi? Kalau harus tukar dengan waktu tidur dan hubungan sosial, ya udah deh, lewat aja. Yang penting kerjaan kelar, terus pulang, nyambung hidup. Titik.

Fenomena ini awalnya ngehits di Amerika tahun 2022, dan sekarang mulai menjamur ke Jepang dan negara-negara lain. Termasuk Indonesia, tentu saja. Negara yang kadang bangga banget sama budaya kerja yang “jam 9 pagi sampe bos pulang.” Padahal bosnya pulangnya jam 10 malam. Ngarep dapetin bonus, malah dapetnya ucapan “terima kasih atas dedikasi Anda.”

Survei Mynavi di Jepang bilang 45% pekerja muda cuma mau kerja sebatas yang perlu. Naik jabatan? Kalau harus ngorbanin akhir pekan dan jadi zombie sosial, mending nggak usah. Mereka yang seperti itu lebih pilih nonton anime, ngerajut, ngopi sama temen, atau tidur siang pake selimut bau matahari. Simpel, tapi bahagia.

Di Indonesia pun, tren ini mungkin belum disebut quiet quitting. Tapi coba perhatiin makin banyak yang bilang, “Kerja buat hidup, bukan hidup buat kerja.” Makin banyak yang pasang auto-reply jam 6 sore: “Maaf, saya sedang tidak ingin diganggu. Karena hidup saya bukan cuma soal email dan deadline.”

Quiet quitting bukan soal males. Bukan juga sabotase. Tapi ini cuma cara elegan buat bilang “Kita kerja bareng, bukan kerja buat ditelan.”

Admin Sarekat

Menghidupkan Suara Yang Tersekat di antara suara lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *